Pilih produk yang ingin anda beli. Klik Detail, lalu klik tombol Add to Cart
Klik tombol View Your Cart yang ada di atas halaman (header) sehingga muncul pop up keranjang belanja. Klik tombol Check Out With
Isikan alamat tujuan pengiriman, kemudian klik tombol Terapkan untuk menampilkan opsi layanan pengiriman yang diinginkan. Pilih salah satu layanan pengiriman. Kemudian Isi detail pengeriman seperti nama, nomor telpon dan lain-lain.
Kirim bukti transfer di halaman Konfirmasi Transfer. Bukti transfer berformat gambar dan tidak lebih dari 100MB
Untuk melihat status pesananmu, bisa melalui email atau ke halaman Cek Status Pesananku
Kategori Buku | : Antologi Cerpen |
Penulis | : Bima Maarschal Rizky Kurnia Falah, dkk |
Jumlah Halaman | : 350 halaman |
Dimensi | : 14 x 20 cm |
ISBN | : 978-623-247-144-3 |
E-ISBN | : 978-623-247-145-0 |
Tahun Terbit | : 2020 |
Editor | : |
Desain & Penata Letak | : |
Dunia hari ini tumbuh begitu cepat, melebihi laju pertumbuhan ketika ditemukannya mesin uap hingga datangnya listrik, atau dari ketika adanya listrik hingga masa otomatisasi industri.
Kaum intelek di Barat sana menggambarkan kemajuan industri saat itu, yang kemudian mereka namakan “Revolusi Industri”. Mulai dari revolusi industri 1.0 dengan ditemukannya mesin uap pada abad 18; kemudian pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ditemukannya listrik menjadi era revolusi industri 2.0 kala itu; sedangkan revolusi industri 3.0 diawali dengan perkembangan semikonduktor dan proses otomatisasi industri pada akhir abad ke-20; dan yang teranyar, revolusi industri 4.0, setelah sebelumnya ditemukannya internet hingga membawa pada pemanfaatan Internet of Things (IoT) dimana kita hidup hari ini.
Walau begitu, di dunia bagian Timur nun jauh seperti Indonesia, yang selalu terlambat kebagian jatah perkembangan teknologi informasi, setidaknya telah ada lebih dari 50% masyarakatnya yang telah memanfaatkan dalam jaringan (daring) atau yang biasa kita kenal dengan internet. Melalui data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018, telah ada 143 juta orang Indonesia yang menggunakan internet.
Setidaknya, internet telah banyak membawa dampak baik bagi tumbuh dan berkembang dunia hari ini, walau tidak sedikit pula dampak buruk yang muncul akibat adanya internet. Internet seperti halnya dua mata pisau yang tidak bisa dipisahkan, yang siap memotong apa saja, tidak terlepas juga bagi mereka yang berprofesi maupun yang giat mewartakan berita.
Bagi pewarta berita misalnya, kehadiran internet seolah menjadi awan cumulonimbus yang menutupi bumi dari sinar matahari. Tidak bisa dibendung, dan menjadi cobaan berat bagi dunia pers. Pasalnya, hari ini, sebuah berita bisa diciptakan oleh siapa saja dan dimana saja. Mereka yang bukan merupakan pewarta berita namun turut serta mengabarkan berita, orang-orang biasa menyebutnya citizen journalism. Sebuah tren baru yang hadir di kala pewarta tak sanggup menjangkau tiap-tiap daerah untuk mewartakan kondisi yang sedang terjadi di tempat tersebut.
Di tengah berita yang berseliweran yang hanya dalam hitungan detik. Persebaran informasi menjadi begitu bias, kita kemudian kebanjiran informasi. Efeknya, kita tak lagi punya waktu untuk memikirkan, mana informasi yang valid, dan mana informasi yang tidak valid atau invalid.
Apalagi beberapa waktu lalu, negara ditimpa berbagai permasalahan yang tak kunjung usai dan terus bertambah. Pewarta berita kemudian dituntut untuk dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Tidak ikut tergerus dan menanggalkan independensi untuk kepentingan yang lain. Meski di lapangan, terkadang masih ditemui represifitas yang kerap dilakukan oleh para pengayom masyarakat.
Namun jika ditilik ke belakang, kehadiran internet membuat kerja-kerja pewarta berita menjadi lebih mudah. Memperoleh data-data, verifikasi narasumber, dan berkirim naskah berita bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan tenaga dan biaya yang banyak.
Mari kita kembali ke dua dasawarsa ke belakang. Saat itu, ketika internet belum ditemukan, proses penggarapan berita bisa dilakukan seharian. Ketika proses peliputan telah usai, kamu harus mengemas naskah jadi untuk kemudian dikirim ke kantor berita setempat. Belum lagi jika kantor beritanya tidak berada di dalam kota, melainkan di luar kota. Lebih repot lagi karena harus menitipkan naskah tersebut ke bus antar kota hingga diambil oleh seseorang yang telah menunggu di kota tujuan.
Bayangkan betapa ruwet dan melelahkannya sebuah berita dihasilkan kala itu. Sangat berbeda ketimbang segala kemudahan yang mereka (pewarta) rasakan saat ini. Namun dibalik segala kemudahan hari ini, lagi-lagi, bayang-bayang masa depan jurnalisme kerap terancam setelah hadirnya Artificial Intelligence (AI). Inovasi terus berkembang, dan berita, sudah bisa digarap oleh robot cerdas yang telah diatur dengan komputasi terkini.
Meskipun, kita tahu kualitas berita yang dihasilkan masih monoton dan tidak bervariasi. Namun tidak menutup kemungkinan suatu saat pemilihan kata dan pengolahan datanya bisa melebihi manusia. Di saat seperti itu, akankah kerja-kerja pewarta berita punah dan tergantikan oleh robot?
Walau banyak kalangan yang optimis dengan mengatakan jurnalisme robot ‘hanya’ akan membantu kerja-kerja pewarta―untuk mendapatkan informasi, namun tidak menutup kemungkinan jurnalisme robot akan mampu menggeser profesi pewarta berita.
Pewarta berita hari ini mungkin akan berharap-harap cemas mengenai dampak buruk yang datang bersamaan dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat saat ini. Atau barangkali mereka seharusnya tetap optimis menepis segala stigma yang mulai menjalar dalam tubuh jurnalisme. Sambil memikirkan sikap negara yang makin kesini malah keenakan membendung setiap informasi hanya dengan menutup akses internet.
Disaat negara lain mulai membuka diri dan mempersilahkan semua warganya mengakses informasi, negara ini justru menutup akses internet dengan alasan dan kekhawatiran bahwa rakyat ini akan menerima informasi invalid yang berseliweran di internet, sambil menyebarkan informasi-informasi yang sebenarnya juga invalid dan tanpa verifikasi.
Pewarta dimanapun juga harusnya marah, ketika hasil kerja jurnalistik dicap invalid oleh elemen negara hanya karena tidak terima dengan isi berita tanpa melakukan mekanisme hak jawab. Bukankah hal tersebut berarti sama dengan pembungkaman terhadap kerja-kerja yang kalian (pewarta) lakoni selama ini?
Namun jika kita tak mampu melihat segala tingkah aneh negara terhadap jurnalisme hari ini, saya menduga, seberapa dekat kita dengan mereka? Atau barangkali independensi tersebut telah luntur oleh semangat NKRI harga mati? Jika sudah begitu, lantas bagaimana bisa kita disebut sebagai pewarta.
Ketimbang memikirkan hal-hal yang belum terjadi terhadap perkembangan jurnalisme ke depan, kita saat ini harusnya fokus terhadap segala kemungkinan lain yang bakal diterima pewarta hari ini. Baik mengenai setiap informasi tak terbendung dari internet, segala represifitas yang dilakukan negara, dan pengecapan berita invalid, sambil terus memperbaharui metode jurnalisme dengan membaca zaman terhadap perkembangan teknologi yang dihadapi oleh pewarta berita hari ini.
KONTRIBUTOR:
Keyword : Peran, Jurnalis, Industri, 4.0, jejakpublisher, jejak publisher, jejak, publisher, Peran Jurnalis Industri 4.0, Peran Jurnalis Industri 4.0 jejak publisher, Peran Jurnalis Industri 4.0 jejakpublisher